Mungkin benar, pada akhirnya setiap
perempuan akan mencintai orang yang tidak ia cintai pada awalnya.
Kemudian, kita harus menerima realita bahwa kita akan hidup bersama pria
ini selamanya. Pria yang sudah teramat baik berupaya mendapatkan cinta
kita, hingga kita akhirnya belajar bersusah payah mencintainya karena
mendekati umur dimana kita harus segera menikah. Kita memang
mencintainya, namun ia bukanlah yang pertama kita inginkan pada awalnya.
Kita dipaksa belajar.
Kemudian, kita menggugat Tuhan atas
setiap perasaan yang tidak terbalas. Sampai bosan. Kita juga menggugat
hati kita sendiri, karena belakangan kita menyadari bahwa Tuhan tidak
pernah bisa dipersalahkan.
...
Ini hanya tulisan dari blog tetangga yang menggugah hati.Yang untuk sesaat menyentakkan aku kepada kamu, kepada kamu yang membawa pengertian cinta dalam bahasamu, kepada kamu yang sempat memperdebatkan arti cinta kepadaku yang entah apa dan karena apa aku mengalah untuk sebuah debat yang biasanya tak pernah bisa aku terima mentah-mentah, kepada kamu yang sesaat menggombali dengan kata-kata yang entah apa aku terjemahkannya.
Andai kamu membaca ini, apakah perspektifmu berlaku untuk sebuah paragraf singkat tentang filosofi cinta? Bukan, ini bukan filosofi cinta sederhana, ini filosofi cinta dalam pernikahan. Yang kata orang, seumuran kita hanya tahu cinta monyet. Yang kata orang, cinta hanya sekedar cinta begitu saja kemudian ditinggalkan. Yang kata orang ini bukan hubungan serius.
Kepada ia yang terikat janji sehidup semati melalui ijab kabul, kepada ia yang berusaha meyakini ia akan hidup selamanya bersama pasangannya, kepada ia yang menyadari ini bukan lagi putus-sambung-cari baruDan, sampai kapan kamu menyadari hakikat cinta (monyet)?
0 komentar:
Post a Comment